Diberdayakan oleh Blogger.

Colours of Life

some though of mine, myself, and my life ~




Sudah menjadi sebuah hal yang kita ketahui bersama bahwa manusia letaknya salah dan lupa. Hingga dari salah tersebut, timbullah maaf, yang dimaksudkan permintaan sebuah pengampunan agar tidak mengulangi sebuah salah maupun menyadari atas kesalahan. 

Permintaan maaf sudah semestinya menjadi sebuah bentuk kemurnian dari dasar hati kita. Yang dari padanya kita menemukan ketenangan atas ucapan "maaf" yang terlontar pada orang-orang atas diri kita yang telah menyakiti mereka. 
Lalu bagaimana dengan memaafkan ?
Sisi A : minta maaf
Sisi B : memaafkan
ada di sisi manakah kita ?

Seharusnya memang begitu adanya bahwa memaafkan merupakan perbuatan yang mulia. Dan ternyata, tidak semuanya mudah melakukan peran yang baik pada bagian ini. 

Bagaimana dengan hati yang terlukai teramat pedih lantas kita hanya harus bisa memaafkan, tanpa mendengar ucapan maaf dari orang-orang yang telah melukai hati kita ? Bahkan tanpa melihat perubahan sikap dari orang-orang yang melukai kita. 

Sejatinya kebesaran hati kita itu, letaknya dimana ? Perlukah menunggu orang-orang yang menyakiti kita untuk meminta maaf ? atau kita hanya perlu memaafkan walau tanpa diminta ? Ada yang hingga berurai air mata, ada pula yang melalui lengkungan di bibirnya, senyuman yang mendamaikan, ada yang tak jarang pula hingga bersujud memohon. 

Mungkin disinilah, sekeping hati kita diuji. Ada yang butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka. Ada pula yang cukup sejenak. Namun, semua berujung pada satu : IKHLAS.

Semoga maaf tidaklah menjadi 4 huruf berjejer yang hanya menjadi formalitas. 
Semoga dengan segala kerendahan hati, segenap ketulusan hati, kita ridho untuk memaafkan segala rasa sakit, segala luka yang begitu lebam membiru, segala pilu yang tak kunjung reda. 

Mungkin hanya dengan "memaafkan" menggunakan akal dan hati terdalam kita, menjadi sebuah ketenangan dalam diri. 

Lalu pertanyaan kedua akan muncul, bahwa Tuhan saja Maha Pengampun dan Pemaaf. Lalu, manusia ? Semoga kita bisa memastikan diri kita bahwa yang kita sembah adalah Tuhan, bukan ego.


Selamat Idul Fitri 1441 H, Damailah segalanya ;)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Tepat hari ini, Sabtu, 02 Mei 2020 kita semua memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pasti kita tak kan lupa akan semboyan dan figur yang melekat penuh tentang pendidikan. Yap, ialah beliau Ki Hajar Dewantara dengan semboyannya "ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" . 

Jika kita melihat dari kacamata pendidikan, sudahkah pendidikan di Indonesia merata ? sudahkah seluruh warga negaranya dapat mengenyam pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 ?

Kemudian aku teringat pada beberapa kali aku mengikuti kegiatan bertajuk pendidikan yang mungkin tidak asing lagi di dunia pendidikan yaitu "Kelas Inspirasi". Pertama kali aku mengikuti Kelas Inspirasi yaitu saat tahun 2017 di Tegal, penempatan di Desa Harjawinangun dan aku menjadi relawan fotografer. Bahkan saat itu aku ditunjuk dimintai tolong karena kekurangan fotografer. Disitulah pertama kali aku mengenal Kelas Insprasi. Masih belum terlalu tersentuh saat itu, karena aku teramat fokus pada tiap bidikan kamera yang menjadi hobbyku dan ku nyaman bermain dengan lensa untuk dapat menghasilkan gambar yang dapat menyampaikan cerita didalamnya. Ku mengenal beberapa relawan lain yang menjadi relawan pengajar yang berasal dari berbagai macam daerah sesuai dengan profesinya masing - masing dan mengenalkan cita - cita pada siswa - siswi sekolah dasar dimana kami ditempatkan. Kegiatan berlangsung hanya satu hari dan dalam satu hari itu proses belajar mengajar "diambil alih" oleh kami, lalu guru-guru pun ikut serta memantau anak didiknya. Uniknya, mungkin dalam proses KBM harian siswa - siswi belajar seperti biasa dan dikenalkan cita - cita tanpa ada "prototype" atau pelaku yang berprofesi langsung. Nah.. disini, dengan berbagai macam pengajar yang sudah berprofesi mengenalkan profesinya kepada siswa - siswi. Kebanyakan target dari kegiatan Kelas Inspirasi ini adalah sekolah - sekolah (SD) yang masih terpencil, jauh dari sentuhan modernitas atau pun bahkan bisa jadi di kota-kota namun memang masih dibutuhkan sentuhan dan pemahaman akan "what we called it dreams".


dokumentasi pribadi : salah satu siswa di SD Harjawinangun 01


Pada tahun 2018 aku diajak kembali untuk mengikuti Kelas Inspirasi Tegal, dan saat itu aku mencoba ikut seleksinya dan ambil peran sebagai relawan pengajar penempatan di area Bumijawa. Aku bersama para relawan lain ditempatkan di SD Sigedong 01. Mendengar kata Bumijawa saja sebetulnya cukup membuatku tertarik karena didukung dengan kondisi alam yang bagus. Saat itu aku mengenalkan tentang dunia pertanian dan lingkungan. Awalnya aku ragu, apakah anak - anak SD tersebut akan tertarik atau acuh ? Ternyata mereka tertarik dan ketika jadwal Back to School di dua bulan setelahnya, mereka masih mengingat para relawan dan saat aku ajak mereka untuk menanam (kebetulan tema yang diambil saat Back to School yaitu "menanam pohon bareng anak kaki gunung slamet" sehingga aku mengisi materi dan membawa beberapa jenis bibit tanaman untuk dibagikan dan ditanam bersama). Terlepas dari kepentingan apapun, aku sangat terharu bahwa guru-guru melihat kegembiraan para siswa saat dikenalkan tentang mimpi, cita-cita, dan bahkan point plusnya bagi aku pribadi, bisa dekat dan mengenal para generasi penerus bangsa ini, indeed. Terlebih, mereka hidup di lingkungan yang tiap mereka membuka mata di pagi hari, mereka bertatap langsung dengan anugerah Tuhan yang tiada bandingnya, kesejukan dan hamparan pepohonan yang menjulang membentuk gugusan bukit - bukit dan sesekali Gunung Slamet menampakkan kegagahannya. 


seorang siswa yang sedang menempelkan cita - citanya di pohon cita-cita.

Di tahun 2019 pun aku ikut seleksi KI kembali di tiga daerah yaitu Yogyakarta, Purwokerto dan Tegal. Namun saat di Yogyakarta kebetulan jadwal bersamaan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia sehingga aku berhalangan hadir. Saat di Tegal pun aku berhalangan hadir. Sehingga hanya di Purwokerto yang bisa kuhadiri, itupun selama masa kuliah aku belum pernah mendarat di area Banyumas tepatnya di Desa Binangun. Aku ditempatkan di SD Binangun 03, dan wow ! it was awesome ! aku sangat merekomendasikan area ini menjadi salah satu rujukan untuk KKN Unsoed, atau mungkin sudah pernah (?). Karena banyak aspek kehidupan lainnya yang (masih) perlu ditingkatkan selain pendidikan.




Btw, anak - anak di Binangun pun sepertinya masih jauh dari sentuhan teknologi dan modernitas. Terlepas dari sudut pandang pribadi, sebagai tenaga pendidik, guru - guru di Binangun pun bercerita tentang kehidupan anak - anak disana dan betapa pendidikan disana menjadi pencerah. Terlihat dari gurat bahagia anak - anak pun ketika dikenalkan tentang mimpi dan cita - cita, menjadi jawaban atas rasa penasaranku. Bagaimana mungkin, kita bisa berkata bahwa pendidikan di negeri ini telah merata ? sementara banyak titik air mata dari para pendidik yang menghujani perasaan dan keibaanku setiap cerita demi cerita dan sayup - sayup terdengar rintihan akan kesejahteraan pendidik sementara mereka adalah pembawa lentera ? Melihat keluguan anak - anak disana membuat aku semakin tertampar bahwa anak - anak adalah generasi emas, mereka adalah aset bangsa yang perlu kita dorong, perlu kita jaga untuk menjadi garda terdepan dalam menghadapi perputaran zaman. 

Ingatanku kembali berputar pada saat aku berada di Pulau Sailus Kecil, disana hanya terdapat satu sekolah dasar, yang kondisinya pun cukup memprihatinkan baik dari sarpras maupun kurangnya tenaga pendidik. Jika ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi maka harus berlayar ke pulau sebelah atau tidak sedikit pula yang berlayar ke Lombok. Ku teringat pada salah satu guru disana (bukan asli Sailus) yang pada akhirnya memutuskan untuk menetap dan mengabdi di Sailus. Hati siapa yang tidak bergetar membaca sebuah pengorbanan demi memprioritaskan pendidikan ? Betapa pendidikan hingga saat ini masih menjadi problema yang belum terpecahkan ? 
Sila bisa dilihat kondisi pendidikan di Indonesia Timur tepatnya di Pulau Sailus di video youtube pada blog ku di ENJ 2017 NTB. 


berfoto bersama anak - anak Pulau Sailus, sesaat sebelum berpisah.



Bagiku, pendidikan bagaikan oase di tengah gurun. Ia seperti tegukan air yang senantiasa menyejukkan keringnya dahaga. 
semoga kesejahteraan senantiasa memeluk para pembawa lentera, sang pendidik. Terimakasih kuucapkan kepada para guru di seluruh penjuru negeri ini. Semoga anak - anak Indonesia ini menjadi para generasi penerus bangsa yang tumbuh menjadi tonggak dan pembawa estafet yang patut kita banggakan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional ! Jayalah negeriku !



bersama anak - anak di Bumijawa 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Tepat setahun yang lalu (30 April - 1 Mei 2019) aku dan teman - temanku mengikuti event Reksa Bumi #3 yang dilaksanakan di Desa Wisata Sigedong, Kecamatan Bumijawa - Kabupaten Tegal. Reksa Bumi merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Bumi (Earth Day) yang jatuh pada tanggal 21 April.




Reksa Bumi #3 ini digelar oleh para pegiat lingkungan dan pecinta alam dari berbagai komunitas dan berbagai kalangan masyarakat. Peserta Reksa Bumi #3 berasal dari berbagai daerah (Kota dan Kab. Tegal serta dari luar Tegal), berbagai lini, berbagai komunitas yang semuanya memiliki misi yang sama yaitu "menjaga dan merawat bumi". Menurut Ketua Panitia Reksa Bumi #3, Mas Kamal Fuadi, bahwa Reksa Bumi #3 ini berfokus ke Konservasi Air. Selama 2 hari 1 malam, peserta berbaur bersama dalam dinginnya angin yang cukup menusuk tulang namun tetap hangat (karena masuk ke tenda hehe..). Rangkaian acara demi acara sangat bermanfaat untuk diikuti karena membahas isu-isu lingkungan. Berbicara tentang lingkungan dan ke-bumi-an merupakan topik bahasan yang selalu hangat, menarik, dan menyenangkan karena setiap diskusi akan mendapat ilmu baru dari para narasumber.


Setelah pendirian tenda, diskusi tentang isu-isu lingkungan menjadi pembukaan bagi kami untuk saling bersinergi turut berpikir dan bertindak demi menjaga bumi kita. Hingga pagi hari, kami dibagi ke dalam beberapa tim untuk melakukan penanaman tanaman konservasi di sekitar mata air. Ada 30.000 bibit pohon pinus yang ditanam di area mata air. Lalu, adapula 500 bibit jambu, rambutan dan 300 bibit karet. Berikut beberapa dokumentasi saat penanaman di area mata air, melalui medan yang tidak datar dan cukup terjal. 





Selain penanaman pohon, dalam Reksa Bumi #3 juga melakukan aksi bersih sampah baik di camp area maupun di area sungai yang dilalui peserta dalam penanaman, juga pada beberapa titik di Desa Wisata Sigedong. Di akhir acara, turut hadir Bupati Tegal, Ibu Umi Azizah dan beberapa instansi pemerintah terkait, lalu beliau berpesan agar kita tetap terus menjaga dan merawat tanaman yang telah kita tanam, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, dan bersama - sama saling bersinergi untuk menjaga bumi kita. Mungkin tahun ini belum ada Reksa Bumi atau aku kurang tahu jika memang telah diagendakan, namun karena adanya wabah corona, maka di hari bumi ini aku kembali mengingat kegiatan setahun lalu dan semoga tidak menyurutkan rasa semangat kita untuk terus bangkit dan menjaga bumi kita agar tetap sehat ! 

Bagiku, bumi sebagai planet yang kita tinggali bersama, sudah sepantasnya kita sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, wajib menjaga dan melestarikan alam ini. Terlebih tugas manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah.

Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, namun kita meminjamnya dari anak cucu. Happy Earth Day ! Be nice, as well. Lestari alamku, lestari bumiku !




-satukan cinta, untuk bumi kita-

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar




source : knowyourteam.com 




Akhir – akhir ini aku seringkali merasakan keresahan atas banyaknya perdebatan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari permasalahan yang simpel hingga yang kompleks. Keresehanku dimulai dari beberapa kali bahkan seringkali aku mendapat chat dari orang – orang yang kurasa menganggap dirinya ingin “curhat” dan menjadikannya “korban” terdampak dari beberapa kebijakan ataupun case yang sedang hangat – hangatnya terjadi di sekitar kita. It’s oke for me to be your good listener, meskipun sampai detik ini aku tidak pernah bisa menilai apakah saran/advice dari sudut pandangku itu bagi mereka baik atau tidak, bermanfaat atau tidak, aku tidak memperdulikan hal itu. Diterima syukur, tidak diterima pun tidak apa – apa (karena dari Dialah kita berilmu dan kepadaNyalah kita kembali).

But my questions, kenapa tiap dari mereka membutuhkan pendapatku dan saat ku sampaikan dari sudut logis yang mungkin aku memahami bagian tersebut, dan – saat apa yang ku sampaikan tidak bisa diterima / merasa tidak cocok dengan jalan pikiran mereka – kenapa menjadi personal attack? kenapa menjadi menyerangku? bukankah tadi menjadikanku teman diskusi?

Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa hidup kita tidak akan pernah lepas dari masalah. Dan dari masalah tersebut, tidak sedikit pula yang “tidak menikmati proses” selama bermasalah. Oke kita ibaratkan seperti rasa sakit. Banyak orang menanyakan “kamu sakit apa?” “dari kapan kamu sakit?” dan “apakah sudah sembuh?” tapi mungkin kita lupa menanyakan proses dari sakit menuju sembuh, lupa menemani tiap – tiap rasa sabar dalam menuju sembuh. Bukankah keduanya juga nikmat yang perlu kita syukuri ? So, I hope you get the point what I mean how to face in every problems and trials.

Back to my topic about debate. Selama menjadi seorang debaters, baik selama masa – masa training dan kompetisi – kompetisi yang kulalui, aku selalu berusaha mengambil value penting, baik dari para debaters lain, dari para coach, adjudicator, maupun dari kesalahan yang sering ku buat, ataupun dari keberhasilan atas buah dari kesabaran dalam berlatih. Dalam masa kompetisi, rival is rival but after the competitions, we are friends. Point penting yang ku ambil dalam tiap debate competition adalah kami diwajibkan untuk brain storming untuk mencari solusi mana yang terbaik atas masalah dari tema / motion? speaker dan tim mana yang paling rapi, paling logic, paling memberi banyak dampak baik, paling bisa ngena dalam menjelaskan dan menyusun background of problems hingga solusi terpecahkan ? Selebihnya, bonusnya adalah menjadi juara (ya karena lagi kompetisi -_-)

Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan selama menjadi debaters. Menjalani masa – masa training yang cukup melelahkan ternyata membuah hasil pada kompetisi dan yang terpenting, aku mendapatkan value yang mungkin secara penalaran harus lebih tajam dan detail. Apa yang dibahas dan diperdebatkan sesuai dengan motion, dan tentu saja TIDAK MENYERANG PERSONAL. 
But, why ? ketika aku dihadapkan pada perdebatan di kehidupan sehari – hari di masyarakat, melihat dengan seksama, menghayati bahkan tak jarang pula untuk ikut menyelami, and my conclusion was going to “banyak yang belum bisa menerima perbedaan pendapat dan menyikapi dengan baik, tidak jarang pula yang berujung adu fisik”.

Banyak orang yang tiba- tiba menjadi ahli untuk menyampaikan pendapat dan argumennya ketika case – case terjadi di sekitar kita, banyak yang beradu argument yang tak sedikit pula berujung permusuhan. Singkatnya, yang banyak diadu adalah mulut, bukan otak. Dan yang kutanyakan, mengapa tidak mengambil value dari tiap diskusi atau adu argument ? Mengapa orang lebih suka untuk menonjolkan dirinya terlebih dahulu atas pendapat – pendapatnya, dan tidak mengedepankan point – point yang perlu untuk disampaikan ? Mengapa orang lebih suka membenarkan pendapatnya, dan mengagung – agungkan dirinya ketimbang merendahkan hatinya untuk mendengarkan pendapat orang lain terlebih dahulu ? dan berani “mengiyakan” jika memang pendapat orang lain jauh lebih baik ?

Banyak orang berdebat tentang kebenaran, masing – masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Kita mungkin tahu, bahwa kebenaran terbagi dalam dua jenis, subjektif dan objektif. Kebenaran subjektif melibatkan persepsi pengamatan (all is relative), benar bagi si A belum tentu benar bagi si B. Artinya tidak ada kebenaran yang benar – benar mutlak. Sedangkan objektif lebih melihat fakta tanpa melibatkan persepsi. Dari keduanya, yang pada akhirnya diambil benang merah sebuah konsensus bersama dari hal hal yang kita sebut “ketidakpastian” alias memiliki acuan dan landasan. We can catch this point.  

But, kembali lagi pada tiap – tiap argumen dan perdebatan yang mirisnya berujung debat kusir, please come on guys ! aku juga bukan seorang psikolog yang mungkin bisa memahami isi dari tiap lawan bicara atau mudah mengkuliti dari kata demi kata. Aku hanya mencoba berfikir rasional, susahkah kita untuk menjadi manusia yang memiliki rasa toleransi dan tenggang rasa or even deal with our mind and understand each other.

Yasudah sampai sini saja keresahanku, I hope for the next, kita bisa berdiskusi secara baik dan sopan dan lebih saling menghormati lawan bicara, apapun topiknya, dan bagaimanapun kondisinya.


Ps : semua ceritaku tentang debaters terlepas dari unsur apapun, namun aku hanya bermaksud untuk berterimakasih dan bersyukur pernah ada dan melalui fase menjadi debaters (dari SMA - Kuliah) yang ternyata banyak pelajaran berharga yang kudapatkan dari guru-guru/coach/debaters/adju, dan sangat berguna dalam kehidupan, khususnya dalam berdiskusi dan analisa. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


foto di hutan mangrove



Di ufuk timur, rona sinarnya mentari
Ia menyapa bulir - bulir padi
Dan embun - embun yang membasahi
Atas turunnya pabrik kenangan semalam yang selalu meresapi
Tak lupa, ia mencium seduhan aroma kopi
Menyempurnakan pagi
Hingga pada akhirnya kembali menapaki
Menekuni jari jemari yang terus menari
Menyusun jeritan kata di dalam hati
Membawanya menggali dari berbagai sisi
Menyusuri ribuan huruf yang terpatri
Hingga menjelma pada makna yang begitu rapi
Berkecamuk dalam pusara untuk memeluk mimpi
Yang selalu mengantarnya pada ruang – ruang imajinasi
Jauh tak bertepi, tanpa tapi

Hari demi hari silih berganti
Kala mimpi per mimpi ia coreti
Pada akhirnya menjadi prasasti
Segalanya telah ia lalui
Namun yang ia cari tak ia dapati
Bak berlayar di laut mati
Lantas, ia mencoba menepi
Barangkali, jika sendiri jauh lebih mengenali
Dan memaknai sejati nan abadi

Pada suatu titik yang ia temui dalam sunyi
segala harap dan cemas tak dapat ia obati
ia pikir, bayang ilusi hanya menghantui
Dan tak jua ia sebut sebagai ambisi
Lalu, bukankah pada akhirnya ia kan kembali
pada bumi yang ia pijaki ?

Di penghujung hari ini
Dimana sajak – sajak (masih) menari dan menyelami tiap lini
Kuucapkan, selamat hari puisi !

Fildzah Kharisma N.H

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Gunung Kelud
Gunung Kelud meletus pada tanggal 13 Februari 2014, bertepatan dengan saat aku melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Kota Batu – Jawa Timur selama 1 bulan. Tidak ada tanda – tanda sebelumnya, namun ketika subuh kala itu, aku dibangunkan temanku yang juga satu kost denganku dan mengatakan bahwa Gunung Kelud meletus. Aku berusaha tenang, aku buka handphone ku pun tidak ada sinyal. Karena posisi kami terpencar, beberapa temanku mengambil tempat PKL di Kediri – FYI, tempat PKL ditentukan oleh pilihan sendiri dari mahasiswa/i –, (sebulan sebelumnya aku telah survey ke Balitjestro bersama kakak-kakak angkatanku di himpunan). Aku baru bisa menghubungi temanku di Kediri setelah agak siang karena sedari pagi sinyal/komunikasi terhalang, sehingga saat siang hari aku hubungi mereka, dan ternyata mereka di evakuasi. Orang tua dan keluargaku pun menanyakan kabarku dan begitu khawatir, karena abu vulkanik dari Gunung Kelud cukup luas hingga ke Provinsi Jawa Tengah. Beberapa hari sempat mengalami “kegelapan” sehingga kami khususnya aku yang melakukan penelitian di perkebunan belum dapat melanjutkan researchku. Meski tiap hari selalu diberi pemandangan indah secara gratis, bisa menatap indahnya Semeru dan beberapa gunung lain di sekitarnya dari lantai 2 kost, beberapa kali melihat pelangi di kebun, merasakan dinginnya Kota Batu tiap malam, tiap hari mandi air hangat, berwisata petik tanaman, wisata ke BNS dan Jatim Park, ah seru !!

source : merdeka.com

Btw, aku mengambil topik “penyakit dan cara penanggulangannya pada tanaman anggur”, dan salah satu penyakitnya adalah embun tepung. Embun tepung tersebut berarna putih yang menempel di daun – daun tanaman anggur. Beberapa hari sebelum terjadi letusan, aku membuat beberapa “ramuan” atas hasil konsultasi dengan pembimbingku di kampus dan di Balitjestro. So, you can imagine guys after that? semua tanaman anggur yang ku teliti di kebun seluas itu terkena abu vulkanik, dan aku tidak bisa membedakan mana yang embun tepung dan mana yang abu vulkanik wkwkkw.. But, so far, I say thanks to God, on saving me well until back home and back to university, I’ll remember all the kindness of my family in Batu City, Kediri, Probolinggo, Malang, all Balitjestro’s staff.  SEMOGA SUATU SAAT KITA BISA BERTEMU KEMBALI. SEMUA SANGAT BERKESAN.


Gunung Slamet
Belum ada 1 tahun dari kepulanganku dari Kota Batu, dan masih teringat peristiwa Gunung Kelud meletus, pada bulan Agustus – September 2014 aku melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bersama teman – teman se universitas yang diacak random (aku punya banyak teman baru hehehe) dan finally aku dapat tempat KKN di Desa Sikapat, desa yang terletak di bawah kaki Gunung Slamet. Hari demi hari dilalui begitu asik karena banyak teman baru yang berbagai macam karakternya, dengan ibu kost yang sangat baik, dengan warga sekitar yang begitu sederhana dalam menjalani hari – harinya untuk bertumpu pada alam. Jadi uniknya, hampir seluruh mayarakat di Desa Sikapat berprofesi sebagai penderes. You know what ? Penderes itu adalah orang yang mengambil nira dari pohon kelapa untuk dijadikan gula merah. Nah !! That’s why we there. Apalagi aku dari pertanian, maka diberikan tugas khusus lah oleh dosen pembimbing KKN, untuk meneliti gula kelapa tersebut, dan menghimbau serta mengedukasi warga untuk tidak menggunakan obat kimia pada nira yang telah diambil. Ada keunikan disini, syarat untuk dapat menikahi anak orang adalah jika laki – laki tersebut sudah bisa memanjat pohon kelapa dan bisa menderes kelapa !, OMG, pantas saja beberapa kali aku discuss dengan para penderes kok masih muda – muda. Hmm.. Tapi yang sudah menjadi adat, biarlah mengalir begitu adanya. Aku fokus pada penelitian gula dari para penderes. Ohya, KKN ku sempat dijeda karena KKN dilaksanakan pada bulan puasa, dijeda lebaran kemudian setelah lebaran lanjut KKN kembali, sehingga setiap hari merasakan buka puasa dan sahur bersama teman – teman KKN dan warga Desa Sikapat. 

source : merdeka.com

Hari demi hari terlewati, aku fokus dengan ikut para penderes berangkat kerja, belajar naik pohon kelapa, wkwk.. dan terus menerus edukasi dari rumah satu ke rumah lainnya untuk mengecek dan memastikan bahwa para penderes sudah berhenti menggunakan bahan kimia dalam campuran nira, dan menggantinya dengan bahan alami. Sebenarnya kami tahu bahwa status Gunung Slamet saat itu sudah di level waspada, dan plang “JALUR EVAKUASI” pun sudah ditancapkan pada sepanjang jalan bahwa menjadi proker dari teman – teman yang KKN dari desa lain yang berfokus pada geologi/kebumian. Selain proker yang fokus pada gula, kami juga fokus pada pembuatan tungku. Saat uji coba tungku, beberapa kali mengalami dentuman dan tungkunya pun bergejolak, namun hal yang ku ingat sampai saat ini adalah ucapan beberapa warga saat kami panik, mereka mengatakan “sing tenang mas mba, ndakpapa, sudah terbiasa begini....banyakin doa, Slamet lagi batuk”. Aku berusaha meresapi dan merasakan ketenangan yang disalurkan oleh masyarakat Desa Sikapat, walaupun kami juga sudah siap jika di evakuasi. Tapi KKN terus lanjut hingga akhirnya kami EXPO di Alun – Alun Banyumas dengan mempromosikan produk kami dan masyarakat Desa Sikapat dengan nama produk “GULA KRISTAL SIKAPAT”, ah begitu mengesankan, hingga akhirnya kami tiba pada hari perpisahan. Finally, I hate the farewell ! Mengapa setiap pertemuan pasti harus ada perpisahan, tapi begitulah hukum alam. I say thanks so much untuk semua kenangan yang tak terlupakan, keakraban, kekeluargaan, dan tetap sama dengan saat di Kota Batu, SEMOGA SUATU SAAT KITA BISA BERTEMU KEMBALI, TEMAN – TEMAN KKN DESA SIKAPAT DAN MASYARAKAT DESA SIKAPAT, LOVE YOU ALL.


 Gunung Agung
Pada tahun 2017, Gunung Agung – Bali mengalami erupsi. Kepulanganku dari Pulau Sailus, aku kembali lagi ke Lombok beberapa hari sebelum pulang ke Jakarta dan Tegal. Malam sebelum pulang sebenarnya masih ragu, lanjut sehari lagi di Lombok, atau langsung pulang. Akupun ragu, ambil rute penerbangan Lombok – Jakarta, atau Lombok – Surabaya, karena kebetulan aku diajak mampir ke Surabaya oleh teman – temanku area Jawa Timur. Padahal Kak Ayu Silvi sudah menunggu di Jakarta, namun memang sebenarnya jadwal kepulangan dari Pulau sempat mengalami perpanjangan karena jadwal kedatangan kapal yang menjemput kami terlambat datang beberapa hari. Saat kami di pulau, tidak ada sinyal, tidak ada listrik, jadi saat terlambat pulang pun kami tidak bisa menghubungi siapapun diluar kehidupan kami di Pulau Sailus. Hehe.. I’m sorry kak, karena telat pulang L  Akhirnya daripada balik Jakarta sendirian, hmmm.. yasudah aku putuskan ambil rute Lombok – Surabaya. Because, temanku, Azizah, juga di Pulau Sailus, berangkat bersamaku namun dia di Pulau Sailus Besar, sedangkan aku di Pulau Sailus Kecil, sementara sebelum berpisah di Pulau waktu itu, Azizah sempat menyampaikan bahwa sepertinya dia bakal balik lebih dulu karena dia sedang studi lanjut S2 dan dia harus berangkat ke Bogor untuk bimbingan/kuliah. Yah bener deh, saat aku masih di Kapal perjalanan pulang dari Pulau ke Lombok, dan sempat dapat sinyal walau naik turun, masuklah SMS dari Azizah kalau dia sudah safe di Jakarta, hwaaa kangen ! Finally ku bisa menyapa duniaaaaa setelah sekian lama tenggelam di pulau tanpa kabar apapun. 

source: suarapubliknews.net

Yhaaa, back to the topic, hingga akhirnya sampai di Bandara LOP dan you know what happen ? ya delay because of Mountain Agung was eruption. Aku langsung keinget film ILY From 3000 Mdpl, mana momennya sama kan di Lombok. But, finally, alhamdulillah Allah masih terus melindungi hingga kami sampai di Bandara Juanda dengan selamat. Dan sampai detik ini, semua pengalaman dan kisah di Pulau Sailus sangat berkesan, dengan seluruh teman – teman dari berbagai macam provinsi, hidup tinggal satu rumah, cari ikan di pantai, tiap sore lihat senja, bercengkrama dengan kesederhanaan, dan keluarga di Pulau Sailus. Ya Allah, I miss them all so much ! PENGIN KETEMU LAGI !

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

foto saat senja di kapal ENTEBE EXPRESS 



Suatu kisah di suatu negeri
Dimana jiwa raga kau abdi
Perjuangan di titik nadir yang hampir mati
Tanpa pamrih, kau tawarkan diri
Menoreh ilmu pada mereka yang kau didik
Di tapal batas kau berdiri

Kau kayuh sepedamu yang kian menjerit seru
Tak pernah kau hitung
Tetes keringat yang mengucur
Dari tangan dinginmu
Dan wajah senjamu
Tuk negeri yang membesarkanmu

Terkadang kau terbatuk – batuk
Melawan kepul asap yang tak permisi
Demi anak didikmu
Separuh hidupmu telah kau korbankan
Melawan kebodohan
Tuk jadi panutan menuju kesuksesan
Pada wajah senjamu yang kian layu
Senyum dan prestasi anak didikmu
Adalah kado bagimu
Kebahagiaan ?
Ah, rasanya tak perlu lagi ragu, katamu.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar




Pada suatu rongga kehidupan
Ia menjelma pada tubuh
Yang rapuh tertindas jaman
Hingga pada suatu masa
Di sebuah noktah, ia menengadah
Dan sekejap sang surya
Menembus tirai jendela
Menyinari tubuh yang tergeletak
Dikawal oleh kesunyian
Dan diteduhi oleh sayap – sayap kematian
Nyanyian lirih sang pendeta
Teramini oleh burung – burung penyelimut kematian
Bunga nisan telah layu berguguran
Pun musim panas telah berlalu
Angin kesedihan menukik tajam
Meratapi gundukan tanah
Beraroma kembang nan basah
Kurebahkan diriku diatas tanah
Yang masih merah merekah
Dan terkulai bersama air mata
Yang membasahi bumi

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Aku diakali
Dalam tempurung
Yang berombak di laut mati

Aku melangkah
Dibawah temaram sinar bulan
Sekelebat sayap – sayap rintihan manusia kota
Yang malu – malu sembunyi dari malam dan jalan

Ah, rasanya ku tersesat
Dalam sepi yang berliku
Langit begitu angkuh
Tiada tangga kesana
Selain mimpi dan doa – doa
Yang terkumpul di tiap malam

Ku mencarimu dalam mimpiku
Tapi, kau justru lebih terlihat dariku
Ku cari kau pada angin
Namun hanya desah desir ombak
Yang memecah gardu pandang

Ku tinggalkanmu bersama rasa sakit
Yang hanya aku seorang yang tahu,
Yah, hanyalah aku seorang yang tahu
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

Fildzah Kharisma N.H

Fildzah Kharisma N.H

About me

I’m a girl who loves nature, green, environmentalist, and social humanitarian enthusiasm.

Halaman

  • Home
  • Travel
  • Contact

Visitors

Followers

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Label

  • cerpen
  • English
  • Environment
  • Friends
  • Goresan hati
  • Indonesia
  • Life Traveler
  • Masa sekolah
  • Opini
  • Perjuangan
  • Puisi
  • Religi

Blog Archive

  • Mei 2020 (2)
  • April 2020 (3)
  • November 2019 (1)
  • April 2019 (1)
  • November 2017 (3)
  • Oktober 2017 (2)
  • Januari 2017 (2)
  • Maret 2016 (2)
  • Maret 2015 (1)
  • Januari 2015 (1)
  • Februari 2014 (1)
  • Januari 2014 (1)
  • Desember 2013 (3)
  • Agustus 2013 (5)
  • Juli 2013 (3)
  • Juni 2013 (1)
  • Maret 2013 (3)
  • Februari 2013 (7)
  • Januari 2013 (2)
  • Desember 2012 (6)
  • November 2012 (2)
  • Oktober 2012 (3)
  • September 2012 (1)
  • Agustus 2012 (10)
  • Juli 2012 (2)
  • Juni 2012 (3)
  • Mei 2012 (3)
  • Maret 2012 (1)
  • Februari 2012 (3)
  • Januari 2012 (5)
  • Agustus 2011 (2)
  • Juli 2011 (4)
  • Juni 2011 (3)
  • Mei 2011 (5)
  • April 2011 (2)
  • Januari 2011 (1)
  • Desember 2010 (1)
  • Agustus 2010 (4)
  • Juli 2010 (3)
  • Juni 2010 (7)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates