Worries ?

by - April 29, 2020





source : knowyourteam.com 




Akhir – akhir ini aku seringkali merasakan keresahan atas banyaknya perdebatan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari permasalahan yang simpel hingga yang kompleks. Keresehanku dimulai dari beberapa kali bahkan seringkali aku mendapat chat dari orang – orang yang kurasa menganggap dirinya ingin “curhat” dan menjadikannya “korban” terdampak dari beberapa kebijakan ataupun case yang sedang hangat – hangatnya terjadi di sekitar kita. It’s oke for me to be your good listener, meskipun sampai detik ini aku tidak pernah bisa menilai apakah saran/advice dari sudut pandangku itu bagi mereka baik atau tidak, bermanfaat atau tidak, aku tidak memperdulikan hal itu. Diterima syukur, tidak diterima pun tidak apa – apa (karena dari Dialah kita berilmu dan kepadaNyalah kita kembali).

But my questions, kenapa tiap dari mereka membutuhkan pendapatku dan saat ku sampaikan dari sudut logis yang mungkin aku memahami bagian tersebut, dan – saat apa yang ku sampaikan tidak bisa diterima / merasa tidak cocok dengan jalan pikiran mereka – kenapa menjadi personal attack? kenapa menjadi menyerangku? bukankah tadi menjadikanku teman diskusi?

Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa hidup kita tidak akan pernah lepas dari masalah. Dan dari masalah tersebut, tidak sedikit pula yang “tidak menikmati proses” selama bermasalah. Oke kita ibaratkan seperti rasa sakit. Banyak orang menanyakan “kamu sakit apa?” “dari kapan kamu sakit?” dan “apakah sudah sembuh?” tapi mungkin kita lupa menanyakan proses dari sakit menuju sembuh, lupa menemani tiap – tiap rasa sabar dalam menuju sembuh. Bukankah keduanya juga nikmat yang perlu kita syukuri ? So, I hope you get the point what I mean how to face in every problems and trials.

Back to my topic about debate. Selama menjadi seorang debaters, baik selama masa – masa training dan kompetisi – kompetisi yang kulalui, aku selalu berusaha mengambil value penting, baik dari para debaters lain, dari para coach, adjudicator, maupun dari kesalahan yang sering ku buat, ataupun dari keberhasilan atas buah dari kesabaran dalam berlatih. Dalam masa kompetisi, rival is rival but after the competitions, we are friends. Point penting yang ku ambil dalam tiap debate competition adalah kami diwajibkan untuk brain storming untuk mencari solusi mana yang terbaik atas masalah dari tema / motion? speaker dan tim mana yang paling rapi, paling logic, paling memberi banyak dampak baik, paling bisa ngena dalam menjelaskan dan menyusun background of problems hingga solusi terpecahkan ? Selebihnya, bonusnya adalah menjadi juara (ya karena lagi kompetisi -_-)

Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan selama menjadi debaters. Menjalani masa – masa training yang cukup melelahkan ternyata membuah hasil pada kompetisi dan yang terpenting, aku mendapatkan value yang mungkin secara penalaran harus lebih tajam dan detail. Apa yang dibahas dan diperdebatkan sesuai dengan motion, dan tentu saja TIDAK MENYERANG PERSONAL. 
But, why ? ketika aku dihadapkan pada perdebatan di kehidupan sehari – hari di masyarakat, melihat dengan seksama, menghayati bahkan tak jarang pula untuk ikut menyelami, and my conclusion was going to “banyak yang belum bisa menerima perbedaan pendapat dan menyikapi dengan baik, tidak jarang pula yang berujung adu fisik”.

Banyak orang yang tiba- tiba menjadi ahli untuk menyampaikan pendapat dan argumennya ketika case – case terjadi di sekitar kita, banyak yang beradu argument yang tak sedikit pula berujung permusuhan. Singkatnya, yang banyak diadu adalah mulut, bukan otak. Dan yang kutanyakan, mengapa tidak mengambil value dari tiap diskusi atau adu argument ? Mengapa orang lebih suka untuk menonjolkan dirinya terlebih dahulu atas pendapat – pendapatnya, dan tidak mengedepankan point – point yang perlu untuk disampaikan ? Mengapa orang lebih suka membenarkan pendapatnya, dan mengagung – agungkan dirinya ketimbang merendahkan hatinya untuk mendengarkan pendapat orang lain terlebih dahulu ? dan berani “mengiyakan” jika memang pendapat orang lain jauh lebih baik ?

Banyak orang berdebat tentang kebenaran, masing – masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Kita mungkin tahu, bahwa kebenaran terbagi dalam dua jenis, subjektif dan objektif. Kebenaran subjektif melibatkan persepsi pengamatan (all is relative), benar bagi si A belum tentu benar bagi si B. Artinya tidak ada kebenaran yang benar – benar mutlak. Sedangkan objektif lebih melihat fakta tanpa melibatkan persepsi. Dari keduanya, yang pada akhirnya diambil benang merah sebuah konsensus bersama dari hal hal yang kita sebut “ketidakpastian” alias memiliki acuan dan landasan. We can catch this point.  

But, kembali lagi pada tiap – tiap argumen dan perdebatan yang mirisnya berujung debat kusir, please come on guys ! aku juga bukan seorang psikolog yang mungkin bisa memahami isi dari tiap lawan bicara atau mudah mengkuliti dari kata demi kata. Aku hanya mencoba berfikir rasional, susahkah kita untuk menjadi manusia yang memiliki rasa toleransi dan tenggang rasa or even deal with our mind and understand each other.

Yasudah sampai sini saja keresahanku, I hope for the next, kita bisa berdiskusi secara baik dan sopan dan lebih saling menghormati lawan bicara, apapun topiknya, dan bagaimanapun kondisinya.


Ps : semua ceritaku tentang debaters terlepas dari unsur apapun, namun aku hanya bermaksud untuk berterimakasih dan bersyukur pernah ada dan melalui fase menjadi debaters (dari SMA - Kuliah) yang ternyata banyak pelajaran berharga yang kudapatkan dari guru-guru/coach/debaters/adju, dan sangat berguna dalam kehidupan, khususnya dalam berdiskusi dan analisa. 

You May Also Like

0 komentar