Worries ?
source : knowyourteam.com
Akhir – akhir ini
aku seringkali merasakan keresahan atas banyaknya perdebatan yang terjadi di
sekitar kita. Mulai dari permasalahan yang simpel hingga yang kompleks.
Keresehanku dimulai dari beberapa kali bahkan seringkali aku mendapat chat dari
orang – orang yang kurasa menganggap dirinya ingin “curhat” dan menjadikannya
“korban” terdampak dari beberapa kebijakan ataupun case yang sedang hangat –
hangatnya terjadi di sekitar kita. It’s oke for me to be your good listener,
meskipun sampai detik ini aku tidak pernah bisa menilai apakah saran/advice
dari sudut pandangku itu bagi mereka baik atau tidak, bermanfaat atau tidak,
aku tidak memperdulikan hal itu. Diterima syukur, tidak diterima pun tidak apa
– apa (karena dari Dialah kita berilmu dan kepadaNyalah kita kembali).
But my
questions, kenapa tiap dari mereka membutuhkan pendapatku dan saat ku sampaikan
dari sudut logis yang mungkin aku memahami bagian tersebut, dan – saat apa yang
ku sampaikan tidak bisa diterima / merasa tidak cocok dengan jalan pikiran mereka
– kenapa menjadi personal attack? kenapa menjadi menyerangku? bukankah tadi
menjadikanku teman diskusi?
Kita memang tidak
bisa memungkiri bahwa hidup kita tidak akan pernah lepas dari masalah. Dan dari
masalah tersebut, tidak sedikit pula yang “tidak menikmati proses” selama
bermasalah. Oke kita ibaratkan seperti rasa sakit. Banyak orang menanyakan
“kamu sakit apa?” “dari kapan kamu sakit?” dan “apakah sudah sembuh?” tapi
mungkin kita lupa menanyakan proses dari sakit menuju sembuh, lupa menemani tiap
– tiap rasa sabar dalam menuju sembuh. Bukankah keduanya juga nikmat yang perlu
kita syukuri ? So, I hope you get the point what I mean how to face in every
problems and trials.
Back to my topic
about debate. Selama menjadi seorang debaters, baik selama masa – masa training
dan kompetisi – kompetisi yang kulalui, aku selalu berusaha mengambil value
penting, baik dari para debaters lain, dari para coach, adjudicator, maupun
dari kesalahan yang sering ku buat, ataupun dari keberhasilan atas buah dari
kesabaran dalam berlatih. Dalam masa kompetisi, rival is rival but after the
competitions, we are friends. Point penting yang ku ambil dalam tiap debate
competition adalah kami diwajibkan untuk brain storming untuk mencari solusi
mana yang terbaik atas masalah dari tema / motion? speaker dan tim mana yang
paling rapi, paling logic, paling memberi banyak dampak baik, paling bisa ngena
dalam menjelaskan dan menyusun background of problems hingga solusi terpecahkan
? Selebihnya, bonusnya adalah menjadi juara (ya karena lagi kompetisi -_-)
Banyak sekali
pelajaran yang kudapatkan selama menjadi debaters. Menjalani masa – masa
training yang cukup melelahkan ternyata membuah hasil pada kompetisi dan yang
terpenting, aku mendapatkan value yang mungkin secara penalaran harus lebih
tajam dan detail. Apa yang dibahas dan diperdebatkan sesuai dengan motion, dan
tentu saja TIDAK MENYERANG PERSONAL.
But, why ? ketika aku dihadapkan pada
perdebatan di kehidupan sehari – hari di masyarakat, melihat dengan seksama,
menghayati bahkan tak jarang pula untuk ikut menyelami, and my conclusion was
going to “banyak yang belum bisa menerima perbedaan pendapat dan menyikapi
dengan baik, tidak jarang pula yang berujung adu fisik”.
Banyak orang yang
tiba- tiba menjadi ahli untuk menyampaikan pendapat dan argumennya ketika case
– case terjadi di sekitar kita, banyak yang beradu argument yang tak sedikit
pula berujung permusuhan. Singkatnya, yang banyak diadu adalah mulut, bukan
otak. Dan yang kutanyakan, mengapa tidak mengambil value dari tiap diskusi atau
adu argument ? Mengapa orang lebih suka untuk menonjolkan dirinya terlebih
dahulu atas pendapat – pendapatnya, dan tidak mengedepankan point – point yang
perlu untuk disampaikan ? Mengapa orang lebih suka membenarkan pendapatnya, dan
mengagung – agungkan dirinya ketimbang merendahkan hatinya untuk mendengarkan
pendapat orang lain terlebih dahulu ? dan berani “mengiyakan” jika memang
pendapat orang lain jauh lebih baik ?
Banyak orang
berdebat tentang kebenaran, masing – masing mengklaim dirinya sebagai yang
paling benar. Kita mungkin tahu, bahwa kebenaran terbagi dalam dua jenis,
subjektif dan objektif. Kebenaran subjektif melibatkan persepsi pengamatan (all
is relative), benar bagi si A belum tentu benar bagi si B. Artinya tidak ada
kebenaran yang benar – benar mutlak. Sedangkan objektif lebih melihat fakta
tanpa melibatkan persepsi. Dari keduanya, yang pada akhirnya diambil benang
merah sebuah konsensus bersama dari hal hal yang kita sebut “ketidakpastian”
alias memiliki acuan dan landasan. We can catch this point.
But, kembali lagi
pada tiap – tiap argumen dan perdebatan yang mirisnya berujung debat kusir,
please come on guys ! aku juga bukan seorang psikolog yang mungkin bisa
memahami isi dari tiap lawan bicara atau mudah mengkuliti dari kata demi kata.
Aku hanya mencoba berfikir rasional, susahkah kita untuk menjadi manusia yang
memiliki rasa toleransi dan tenggang rasa or even deal with our mind and
understand each other.
Yasudah sampai sini
saja keresahanku, I hope for the next, kita bisa berdiskusi secara baik dan
sopan dan lebih saling menghormati lawan bicara, apapun topiknya, dan
bagaimanapun kondisinya.
Ps : semua ceritaku tentang debaters terlepas dari unsur apapun, namun aku hanya bermaksud untuk berterimakasih dan bersyukur pernah ada dan melalui fase menjadi debaters (dari SMA - Kuliah) yang ternyata banyak pelajaran berharga yang kudapatkan dari guru-guru/coach/debaters/adju, dan sangat berguna dalam kehidupan, khususnya dalam berdiskusi dan analisa.
0 komentar