Kepergianmu

by - Januari 21, 2017

"Aku masih merasakan udara yang sama. Masih berdiam ditempat yang sama. Tapi yang kurasakan tak lagi sama, kesunyiaan ini bernama tanpamu, Selma...”

Gulungan ombak di 17 Mei 1983 senja itu menjadi saksi pergulatan hati yang sangat hebat, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Janji pertemuan yang ia tawarkan pekan lalu membawakan diriku padanya dengan sedikit gelisah akan apa yang hendak ia utarakan.
10 Mei pekan lalu Selma mengatakan rencananya hari ini bertolak ke Manhattan. Pada jalanan yang telanjang ini, kucoba menerka tentang perkataan Selma pekan lalu dalam himpitan lorong – lorong Kota Varanasi sore itu, ucap kepergian dari bibirnya dengan tajam merobek telingaku kala itu dibawah pohon lampu.

“aku menunggumu dari pukul setengah empat sore, tapi tak kulihat kehadiranmu” katanya.
Bagaimana ku bisa membawa diriku hadir tegap laksana prajurit nan kokoh di depannya, sementara senja itu harus menjadi saksi bisu perpisahan aku dan Selma.
“Maafkan aku Selma atas keterlambatanku”, ucapku lirih padanya.
Darahku mengalir begitu deras, bak tersambit kapak nan lancip. Tak kuasa mata ini menatapnya tajam untuk yang terakhir kalinya. Seluruh neuron dalam otakku seakan terbelit dan mengoyak segala alam fantasiku. 
”Kau tahu kan, petang nanti aku harus bertolak ke Manhattan, kau tahu kan sore ini sengaja ku relakan waktu ku untuk bersamamu, kau tahu kan kalau orang tuaku.......”
“Cukup, Selma ! Aku tak ingin kau perpanjang kalimatmu”, bentakku.
Selma sontak terdiam dan lambat laun Selma menitikkan air yang sudah berat tertampung di matanya.
“Maafkan aku Selma, aku tak bermaksud membentakmu, tapi arus ayal kepergianmu menghantarkanku pada emosi jiwaku yang kian memuncak” kataku.
“Aku tahu, tiada satupun yang menginginkan perpisahan ini terjadi, sungguh berat hati ini harus melepasmu, aku tak kuasa mencoal jiwaku yang sudah termagneti olehmu, kau pikir ini mudah ?” Kata Selma mulai memberanikan diri melihat mataku nan menghayut pada sukmaku.
Dengan sedikit terisak, Selma meringkuh berlutut dan berkata bahwa kepergiannya dari kota ini bukan hanya untuk meninggalkanku. Orang tuanya hendak menikahkannya pada seorang yang tersohor di salah satu sudut kota di negeri seberang, Manhattan.
Emosiku meluap seperti plastik terbakar, aromanya kental menyerbu penciuman.Pijar-pijar bohlam dalam hatiku berlecutan. Aku menikmati sensasi kesenduan yang teramat dalam. Hatiku sunyi, kendati tak sepi. Tapi, liris demi liris kalimatnya semakin menyudutkanku.
Sebenarnya, aku tidak pernah ingin semuanya berakhir. Saat semua terancang dengan hebat dan sempurna, saat perhatian-perhatian kecil itu menjelma menjadi candu rindu yang menancapkan getar-getar bahagia. Tapi, bukankah prediksi manusia selalu terbatas? Aku tidak bisa terus menahan dan mengubah sesuatu yang mungkin memang harus terjadi. Perpisahan itu harus terjadi untuk pertemuan awal yang pasti akan memunculkan perasaan bahagia itu lagi.

“Aku harus pergi” ucap Selma kala itu saat senja beringsut malu – malu untuk menutup hari.
“Aku sungguh tidak bisa melepasmu, Selma.”
“Harus menjadi seperti apa jiwa dan hatiku yang telah robek sepeninggalmu? ” ucapku.
“Tak bisakah sejenak kau nikmati senja esok hari bersama riuh burung – burung kecil sore yang meramaikan kisah kasih kita ?” Ku ucap padanya dengan bibir sedikit pilu.
“Mengapa tak kau luangkan sejenak saja tuk izinkan kulukis Maha Karya Tuhan nan begitu indah di wajahmu, Selma ?”
Selma hanya terdiam mematung, sudut bibirnya nan tipis menyeruak.
Berlatar belakang nyiur kelapa yang sudah sedikit menua pada beberapa dahannya, kurebahkan diriku diatas gundukan butiran pasir pantai nan tersapu ombak perlahan.
Selma tak kuasa menampung air matanya yang tepat jatuh diatas pundakku. Tetesan air yang menembus kulit dan sukmaku begitu hebat menghipnotisku untuk melepaskannya.
“Aku pun tak ingin pergi dari pelukmu, tapi aku tak miliki daya apapun, maafkan aku” isak Selma dengan detak jantung yang dapat kurasa pada lapisan ariku.
Jangan menangis kekasihku, janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta ,hanya cinta yang indah kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan,pahitnya kesedihan,dan duka perpisahan.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat dikatakan kayu kepada api yang menjadikannya abu,
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,seperti isyarat yang dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikanya tiada.
Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau dalam kehidupan ini,pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang.
“Kau temukan jalanmu, aku temukan jalanku. Kita bahagia dalam jalan kita masing-masing. Kau berpegang pada prinsipmu, aku berpegang pada perasaanku. Kita berbeda dan memang tak harus berjalan beriringan, tak apa Selma”, ucapku lirih padanya.
“Selma, rumahmu selalu ada disini, di tepi awan, di pinggir hujan, di pinggiran ombak yang selalu sigap menanti kepulanganmu, pulanglah segera Selma” bisikku padanya.
Gayutan jemarinya yang kian hilang dari lapisan kulitku, kukunya nan indah kini beringsut tak dapat kugapai lagi, kini aku harus mengantarkan Selma pada kepergiannya.  
Burung gagak seakan mengamini perpisahanku dan Selma senja itu, sungguh aku tak ingin membelokkan tubuhku lagi untuk sekadar melihat kepergiannya yang beringsut – ingsut lenyap pada sebuah titik di ufuk barat. Dengan segala ketidaksiapan yang menggerogotiku, aku tetap harus melepaskannya.
Ku temukan telaga damai dalam matamu yang teduh itu
Ku titipkan sejuta rasa yang bergemuruh di dada
Di matamu ku temukan beribu bait puisi yang tak pernah usai ku baca
Ku lukis sebentuk ketulusan dalam setiap guratan senyum mu
Ku ukir sedetik demi detik suka duka saat bersama mu,berharap waktu tak kan menghapusnya
Lalu ku pinjam malam tuk hadir dalam ruang mimpi mu,berharap kau tak kan berlalu,hilang dan lenyap begitu saja meninggalkan ku dengan berjuta rasa yang menyesakan dada, “Selma, Kau benar – benar telah pergi dariku”.

Tidak dipungkiri dan aku tak harus menyangkal diri, bahwa selama rentan waktu tanpanya, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Saat malam, ia menjerat pikiranku untuk berfokus pada suaranya yang mengalun lembut melewati lempengan-lempengan dingin perasaanku. Dan aku rindu, rindu semua hal yang bisa kulalui bersamanya hingga terasa waktu terlalu cepat berlalu saat itu. Selma yang anggun,

Semua berjalan dengan cepat. Sapa manjanya, tawa renyahnya, cerita lugunya, dan segala hal yang membuat otakku penuh karenanya. Dan, aku harus membuang dan menghapus itu semua dari memori otakku agar ia tak lagi mengendap-endap masuk ke dalam hatiku, lalu membuat kenangan itu menjadi nyata dan kembali menjadi realita.
Setelah ini akan ada pertemuan yang lebih menggetarkan hatimu dan hatiku, akan ada seseorang yang masuk ke dalam hidupmu dan hidupku, dia akan menjadi alasan terbesar saat doa terucap lalu kau dan aku menyisipkan namanya. Selamat menemukan jalanmu Selma, gumamku dalam hati bersamaan dengan desah angin yang menghempas jiwaku.


“Percayalah, bahwa perpisahan ini untuk membaikan hidupmu dan hidupku, bahwa setelah perpisahan ini akan ada rasa bahagia bertubi-tubi yang mengecupmu dengan seringnya. Percayalah bahwa pertemuan kita tidak sia-sia. Aku banyak belajar darimu dan aku berharap kau juga mengambil pelajaran dari pertemuan singkat ini. Semua butuh proses dan waktu saat kamu harus kehilangan sesuatu yang terbiasa kau rasakan”.

Agra, 28 Desember 1984
Pernikahan Selma dengan Alan Smith sayup – sayup terdengar hinggap pada telingaku.
Sepucuk surat berpita merah dengan lukisan taman dipenuhi air nan jernih dan burung angsa saling beradu pandang mencuatku untuk menyimpannya pada lembaran kertas bekas yang menunggu tukang sampah untuk memungutnya.
Namun, demi kebahagiaan Selma, kutawarkan diriku untuk menafsirkan barisan kata pada sepucuk surat itu.


Manhattan, 15 Januari 1985
“Selma, kau sungguh cantik, kau tak hanya cantik, namun elegan dan berkharisma, lelaki itu sungguh beruntung memilikimu” gumamku melihat wanita yang tak akan bisa kuhapus dalam saraf neouronku. Tapi kali itu kucoba membiarkan mataku berpuasa menikmati pemandangan sejarah hidupku, “Selma telah bahagia dengannya”, desahku dalam hati. Akan kurekam senyumnya sampai detil terkecil semampuku menopangnya.
Senyum dan kumpulan air mata Selma menjadi saksi kebekuan jiwaku padanya. Kulihat ia menyepa air matanya hingga sudut matanya yang mungil, “Ah, itu pasti air mata kebahagiaan Selma dengan Alan”.
Semoga kebahagiaan selalu terpatri padamu, Selma.
Varansi, 20 Nopember 1990
Karena rumah tangga yang bergejolak, Selma dan Alan memutuskan untuk pindah di kota kelahiran Selma, yang juga kota dimana aku tinggal hingga saat ini, Varansi.
Varansi yang merupakan kota suci di India menjadi saksi sejarah pertemuan ku dan Selma saat itu. Meski aku dan Selma hidup di kota ini sejak kanak-kanak, namun romansa dan bangunan Kota Varansi tetap tak pernah berubah dan tetap melegenda.
Di pinggiran Sungai Gangga, Selma dan aku sering bertemu, memadu kasih berteman gemericik sungai nan suci. Terkadang ikan – ikan mencuri perhatiannya pada kami. Jika senja tiba, kami segera mengakhiri hari dan merajut mimpi – mimpi kami di malam hari.
Di pinggiran Sungai Gangga sore itu, Selma menawarkan dirinya untuk menemuiku tanpa diketahui Alan.
Kedatangan Selma dengan berlapis kain sari warna merah muda menyoal lamunanku pada punduk – punduk rindu yang telah lama menguap. Pada khayalanku tentang gagahnya Elang di tiap noktah. Elang, kau telah melemparkanku hingga aku terduduk di tepi sungai ini. Lantas kau menyibak tubuhku, membawaku menelusuri savanna, mencari oase untuk kita minum bersama. Dulu kau yang menyelamatkanku, membawa sebagian tubuhku yang sepertiga tercerabut. Lihat.. helai daunku sudah tak ada lagi. Kuingat beberapa terjatuh saat kita terbang menjelajahi Bermuda dan tersangkut di arus waktu. Gerbang kekinian dan masa lampau. “Ah, Selma, akhirnya penantianku berujung pada kedatanganmu”.
Malaikat penjaga yang dilengkapi pedang berkilauan terhunus di tangan kanan seakan berbisik padaku, "Kemari Selma, sebelum terdengar suara – suara penyaksian orang pada kita".

Sungguh ironis, kehidupan rumah tangga Selma yang tak harmonis dan berujung tragis. Karena Selma tidak dapat mengaruniai seorang anak, Alan lebih memilih untuk bersama pelacur desa yang dapat memuaskannya. Tepian Sungai Gangga menjadi saksi bisu isak tangis Selma yang memecah kesunyian. Selma yang menangis di pundakku, membuyarkanku akan memori di tujuh tahun silam.
Selma selalu pergi ke gereja, dan selalu meminta untuk dikaruniai seorang putra. Di tiap sudut gereja, dibawah rindang pepohonan, ku membidik Selma dari kekejaman Alan yang terbanjiri emosi. Sungguh, aku layaknya patung yang membisu, hening dalam kebekuan.
Varansi, 23 September 1992 pukul 03.50
Sang surya menyibak barisan kain penutup jendela menyeruai singgasana Selma dan Alan. Burung – burung bersiul mengkode anak – anak manusia untuk menyapa surya. Hembusan angin Varansi pagi itu begitu dingin, mengkuliti dan menikam tubuhku. Isak tangis kebahagiaan sayup-sayup terdengar dari sekotak kamar tempat Selma berbaring melawan tapal batas hidup atau mati. Tergurat senyum bahagia dari wajah Selma. Seorang putra telah lahir di dunia pukul empat subuh tadi. Dokter dan perawat segera mengabarkan berita bahagia itu pada kumpulan manusia yang hadir, termasuk Alan, sang suami.
“Selamat Pak Alan, anda telah sah menjadi seorang ayah, sekali lagi selamat” ucap dokter yang sudah beruban itu.
Semakin sang surya mengarai naik perlahan, semakin banyak pula orang datang berduyun – duyun ingin menyaksikan kebahagian di keluarga kecil Alan dan Selma. Kedatangan putranya di dunia menjadi hadiah akan penantiannya selama ini, menjadi kado Tuhan atas lantunan doa – doa yang keluar dari bibir Selma.
Gemericik air jamuan tamu yang membuih, suara – suara anak manusia yang kian mengencang tetiba menjadi hening seketika mendengar kencangnya teriakan Selma di dalam kamar.
Dokter mengatakan bahwa putra Selma sudah meninggal satu jam setelah lahir. Sang perawat yang menjumputnya saat mencuci darah yang masih bersimbah pada tubuh putranya.
“Nona, berikan putraku, aku ingin menyusuinya, aku ingin mendekapnya, ia kedinginan” pinta Selma pada sang perawat.
“Putra Anda telah meninggal, Bu. Tabahkanlah jiwamu” Kata sang Dokter.
Sang Dokter menjemput Alan di teras dan mengatakan padanya, bahwa putranya telah meninggal. Suasana hening bak tertikam pisau kebekuan. Suasana suka cita menjadi duka seketika. Sungguh, putra Selma adalah anak yang sedang mampir di dunia dalam satu jam.
Di dalam kamar tempat Selma beradu hidup dan mati, sang perawat terus menemani Selma. Selma yang tak ingin melepaskan putranya dari dekapannya mengharu biru suasana kala subuh itu.
Namun, takdir ternyata membuat Selma tersenyum mendekap sang putranya untuk selamanya. Tepat pukul lima subuh, pada tempat tidur pesakitan Selma tertidur bersama sang putra untuk selamanya. “Ia meninggal..” gumam beberapa orang yang menghujani kamarnya. Terdekap kain kafan yang menyelimuti Selma bersama putranya.
Tak terlihat tangis pecah dari bibir dan mata Alan yang mendalam.
Orang – orang saling berbisik, “mungkin, inilah ketetapan Tuhan, menyelamatkan Selma dan bayinya dalam singgasanaNya dari kekejaman Alan”.
Orang – orang saling beradu pandang, melihat peristiwa yang begitu memilukan. Selma dikubur diatas makam ayahnya, tertumpuk diatasnya seonggok bayi yang terdekap hangat diatas dada Selma.
Nyanyian sang Pendeta kian nengiris menyayat hati, mengiringi kepergian Selma dan putranya untuk berbaring di tempat terakhir.
Di sudut pemakaman, seratus meter tepat dari tempat Selma tertidur lelap, aku menyeroak, lemah tak berdaya. Sesaat setelah semua lenyap, aku menghampiri makam Selma. Ku rebahkan tubuhku pada gundukan tanah dan terkulai, lemah tak kuasai diri. Hatiku terkoyak, robek menoreh seribu duka.

Selmaku telah tiada. Semoga kau bahagia disana.  

You May Also Like

0 komentar