Kami dan Teh
Aku dan keluarga mempunyai kebiasaan unik. Ini yang
membuatku selalu rindu ketika berada di perantauan. Yap, NGETEH. Alias minum
teh bersama. Kami selalu melakukannya di pagi hari dan sore hari sembari
mendengarkan alunan nada dari radio. Teh, wanginya yang selalu membuatku ingin
terus menikmatinya. Kebiasaan kami, dari dulu setiap pagi kami duduk
bersama minum teh sebelum pergi bekerja dan sekolah, sembari menunggu makan pagi
yang diiringi dengan alunan syahdu yang bernuansa semangat.
Nah, saat sore hari, ini moment yang paling kusuka, sekira
pukul 16.30 – 18.00 kami duduk mengeteh bersama di teras, sambil bercengkrama
dengan tetangga. Itu adalah moment yang sangat bernilai bagiku. Mungkin
terlihat sangat sederhana, ya memang. Tapi nilai kebersamaannya, subhanallah.
Dan itu belum lengkap kalau tidak ada teh. Selama ngeteh kami menikmati senja
bersama iringan nada yang mengalun, yang menganyam membalut hati. Terkadang,
bapakku kirim – kirim salam lewat radio kesayangannya itu. Dan, itu belum
lengkap. Ada satu lagi kebiasaan kami. Setelah makan malam, kami menikmati angin
malam yang kutahu itu dingin namun perlahan mendesir mengalun kalbu seiring musik barat yang terus menemani, semisal Richie dengan “hello” nya, Chantal
Kreviazuk dengan “Leaving on a Jetplane”nya dan musik klasik lainnya. Yap, tentu
saja, karena ini adalah musik – musik favorit aku dan bapaku. Bahkan beliau
yang mengenalkan padaku. Masih berbicara tentang kenikmatan teh, entah kenapa
bagiku teh buatan ibu selalu nikmat, rasa dan aromanya berbeda ketika aku minum
di tempat lain. Seduhan teh, gula dan airnya begitu pas, nikmat sekali. Kami menyebutnya
dengan ‘wasgitel’ (wangi, panas, sepet, legi lan kenthel). Wangi melatinya
yang begitu merindukan. Bahkan acapkali aku pulang ke kampung halaman, belum
sampai rumah, jejeran pabrik teh selalu menyambutku dengan aroma melati yang
khas.
Mari ngeteh :))
0 komentar